News

5 Alternatif Bahan Pokok Atasi Krisis Makanan Akibat Perubahan Iklim

  • YOGYA, Jogjaaja.com -Entah bagaimana cara manusia berusaha mengatasinya, nyatanya perubahan iklim tetap akan mengubah apa yang kita makan di masa depan.Hal ters
News
Ties

Ties

Author

YOGYA, Jogjaaja.com -Entah bagaimana cara manusia berusaha mengatasinya, nyatanya perubahan iklim tetap akan mengubah apa yang kita makan di masa depan.

Hal tersebut  karena hari ini, hanya ada 13 tanaman yang menyediakan 80 persen asupan energi (kalori) bagi masyarakat di seluruh dunia. Sumber kalori ini utamanya berasal dari gandum, jagung, dan beras, yang akrab sebagai makanan pokok.
 

Namun, beberapa tanaman itu mungkin tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada suhu yang lebih tinggi, curah hujan yang tidak terduga, dan peristiwa cuaca ekstrem akibat perubahan iklim. Selain itu, kekeringan, gelombang panas, dan banjir bandang juga merusak tanaman sejenis di seluruh dunia.

“Maka, kita harus mendiversifikasi—membuat beragam—keranjang makanan kita,” kata Festo Massawe, direktur eksekutif Future Food Beacon di University of Nottingham Malaysia, sebagaimana dikutip dari Science News, Kamis (23/6/2022).

Sementara ahli ekologi Royal Botanic Gardens, Samuel Pironon, menyebut membiakkan tanaman sehingga lebih tahan terhadap iklim, merekayasa makanan secara genetik di laboratorium, dan mempelajari tanaman yang belum banyak dipelajari.

Sehingga, menurutnya, untuk mengatasi kekurangan makanan pokok di masa depan akibat perubahan iklim dapat diatasi dengan mencari alternatif. Khususnya makanan yang lebih bisa bertahan di iklim ekstrim.

“Untuk memberi makan populasi yang berubah dengan cepat, para ilmuwan makanan harus mengeksplorasi banyak kemungkinan jalan, sambil memikirkan bagaimana menjadi ramah lingkungan,” katanya, dikutip Kamis (23/6/2022).

Berikut ini merupakan enam alternatif yang bisa menjadi pengganti makanan pokok di masa depan dalam mengatasi krisis makanan akibat perubahan iklim.

Jawawut

Millet, atau yang dalam bahasa Indonesia berarti “jawawut”, merupakan biji-bijian yang punya tekstur halus seperti pasir hitam, dan tumbuh di beberapa wilayah Asia dan Afrika.

Menurut penelitian berjudul “Leveraging millets for developing climate resilient agriculture” yang terbit tahun 2022, menyebut bahwa jika dibandingkan dengan gandum, jagung dan beras, jawawut jauh lebih tahan terhadap iklim.

Hal itu karena tanaman ini membutuhkan sedikit air dan tumbuh subur di lingkungan yang lebih hangat dan lebih kering.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan telah mendeklarasikan tahun 2023 sebagai International Year of Millet.

Tanaman Quinoa (jenis sereal kinoa) mendapatkan kehormatan yang sama pada tahun 2013, dan penjualannya meroket.


Kerang

Suatu hari nanti, kerang mungkin akan menjadi menu yang lazim di meja makan keluarga.

Menurut laporan Nature pada 2020 lalu, berbagai jenis kerang termasuk remis dan tiram, akan menjadi jenis seafood yang populer, bahkan tingkat konsumsinya adalah 40 persen lebih banyak ketimbang makanan laut lain pada 2050 nanti.

Kata peneliti asal University of California Santa Barbara, Halley Froehlich, ini karena dalam mengembangbiakkannya, kerang tidak perlu disiram atau dipupuk. Ia sangat mudah dikembangbiakkan.

“Ia super kuat, super bergizi. Harga juga ramah bagi konsumen,” ujarnya.

Alga atau Rumput Laut

Alga atau rumput laut, atau yang biasa disebut “kelp” dapat menjadi makanan sehat sekaligus ramah lingkungan.
Berdasarkan laporan Fontiers in Marine Science, selain bergizi dan mudah didapat, kelp juga menyerap karbon dioksida selama fotosintesis, yang dapat menurunkan keasaman lingkungan berairnya.

“Banyak petani di Maine dan Alaska menanam rumput laut dan kerang bersama-sama, sehingga ia mendapatkan keuntungan ganda darinya,” tulis penelitian berjudul “Can Seaweed Farming Play a Role in Climate Change Mitigation and Adaptation?” tersebut, dikutip Kamis (23/6/2022).

“Kerang berkembang baik di air dengan asam rendah. Selain itu, petani juga mendapatkan kelp yang melipah dan bermanfaat,” sambungnya.
Selain menguntungkan, sifat kelp yang menyerap karbon juga sangat untuk lingkungan. Ia juga telah menjadi makanan yang populer di Asia selama ribuan tahun.

Enset

Enset adalah jenis tanaman kerabat dekat pisang. Banyak pula yang menyebutnya sebagai “pisang Ethiopia”.

Tanaman ini juga dijuluki “pisang palsu” karena menyerupai pohon pisang, meskipun buahnya tidak dapat dimakan.

Meski demikian, batangnya yang sangat tahan terhadap iklim panas dapat dipanen kapan saja untuk dijadikan tepung.

Sebuah laporan tahun 2021 di Environmental Research Letters menunjukkan bahwa jangkauan enset dapat diperluas ke bagian lain Afrika, dan mungkin lebih jauh.

Singkong

Tanaman ini bukanlah barang asing, terutama bagi masyarakat yang hidup di wilayah tropis seperti Indonesia.

Selain memiliki nutrisi yang tinggi, singkong juga mudah untuk ditanam dan sangat toleran dengan suhu hingga 40 derajat, bahkan bisa tumbuh dalam kekeringan sekalipun.

Kini, ia tumbuh di lebih dari 100 negara.
Mengutip laporan yang terbit di jurnal Tropical Plant Biology pada 2020 lalu, singkong memiliki mekanisme bawaan untuk mengatasi kelangkaan air dengan daun terkulai.

Ia juga dapat dibudidayakan di daerah dengan radiasi sinar matahari yang tinggi.

“Studi ini menunjukkan ketahanan singkong terhadap perubahan iklim dan memastikan sebagai ‘tanaman asuransi masa depan’ dalam upaya mencapai ketahanan pangan,” Raji Pushpalatha dan Byju Gangadharan dalam penelitian tersebut. (Eff)