Jogja

Fakta Menarik Sekaten, Perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW Sejak Kesultanan Demak

  • YOGYA, Jogjaaja.com - genda yang paling ditunggu oleh masyarakat Jogja, Sekaten, akan kembali digelar.Setelah dua tahun ditiadakan akibat pandemi Covid-19, pasa
Jogja
Ties

Ties

Author

YOGYA, Jogjaaja.com - genda yang paling ditunggu oleh masyarakat Jogja, Sekaten, akan kembali digelar.

Setelah dua tahun ditiadakan akibat pandemi Covid-19, pasar rakyat ini akan kembali digelar pada tahun ini, mulai 16 September hingga 16 Oktober 2022 mendatang.

Bermula dari peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, khususnya kerajaan Demak, Sekaten menjelma sebagai pagelaran pasar rakyat yang selalu dinantikan kehadirannya.

Lantas, bagaimana sejarah awal dari Sekaten itu sendiri?

Mengutip Soepanto dalam bukunya, Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta (1991), tradisi Sekaten memang bermula dari zaman Kesultanan Demak.

Saat itu, orang Jawa menyukai gamelan pada hari raya Islam, yaitu hari lahirnya Nabi Muhammad, sehingga dimainkanlah gamelan di Masjid Agung Demak.

Soepanto menjelaskan, 'sekaten' sendiri diadaptasi dari kata 'syahadatain', yang berarti 'persaksian (syahadat) yang dua'. Kemudian, kata ini mengalami perluasan makna, yang setidaknya menjadi lima makna.

Pertama, yakni ‘sahutain’, yang bermakna menghentikan atau menghindari perkara dua, yaitu sifat lacur dan menyeleweng). Ada pula ‘sakhatain’, menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan).

“Selanjutnya, bermakna pula ‘sakhotain’ atau menanamkan dua perkara, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur yang selalu mendambakan diri pada Tuhan),” tulisnya.

Sementara dua makna lain adalah ‘sekati’ dan ‘sekat’. Sekati artinya setimbang, yakni orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk; dan ‘sekat’ berarti batas, yaitu orang hidup harus membatasi diri untuk berlaku jahat.

Selanjutnya, karena menjadi satu tradisi yang selalu dilaksanakan, Sekaten pun terus berlanjut. Dalam perkembangannya, Sekaten dilakukan selama tujuh hari, dengan beberapa tahapan yang mengiringinya.

Pertama, ada tahapan Gamelan sekaten yang dibunyikan pada pukul 16.00 WIB sampai kira-kira pukul 23.00 WIB pada tanggal 5 Rabi’ul Awal. Selanjutnya, Gamelan dipindahkan ke pagongan di halaman Masjid Besar mulai pukul 23.00 WIB.

Hadirnya Sri Sultan beserta pengiringnya ke serambi Masjid Besar untuk mendengarkan pembacaan Riwayat kelahiran Nabi Muhammad SAW, diselenggarakan pada tanggal 11 Rabi’ul Awal.

Dikembalikannya gamelan sekaten dari halaman Masjid Besar ke Kraton sebagai tanda berakhirnya upacara Sekaten.

Biasanya, dalam Sekaten terdapat dua tradisi yang dilakukan selama Sekaten berlangsung, yaitu Grebeg Muludan dan Numpak Wajik.

Grebeg Muludan Grebeg Muludan diadakan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal atau sebagai acara puncak peringatan Sekaten.

Tradisi ini dimulai dari pukul 08.00 sampai 10.00 WIB dikawal dengan 10 macam bregada (kompi) prajurit Kraton.

Prajurit tersebut adalah wirabraja, dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrirejo, Surakarsa, dan Bugis.

Sementara upacara Numpak Wajik dilaksanakan dua hari sebelum Grebeg Muludan, diadakan di halaman Istana Magangan pada pukul 16.00 WIB.

Upacara ini berisikan kotekan atau permainan lagu menggunakan kentongan, lumping (alat untuk menumpuk padi) dan sejenisnya.


Numpak Wajik menjadi tanda awal pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan. (Eff)