Sleman

Hambat Kemandirian Alkes, Gakeslab Kritisi Kebijakan Pemerintah yang Kontraproduktif

  • SLEMAN, Jogjaaja.com -  Asosiasi perusahaan alat kesehatan, GAKESLAB Indonesia mengkritisi sejumlah kebijakan Kementerian Kesehatan yang diperkirakan dapat
Sleman
Ties

Ties

Author

SLEMAN, Jogjaaja.com -  Asosiasi perusahaan alat kesehatan, GAKESLAB Indonesia mengkritisi sejumlah kebijakan Kementerian Kesehatan yang diperkirakan dapat berdampak kontraproduktif terhadap  kemandirian alat kesehatan di Indonesia.

Bila terus dipertahankan, kebijakan-kebijakan tersebut akan menyebabkan  rendahnya realisasi pengadaan alat kesehatan buatan Indonesia, sebagaimana dikeluhkan Presiden Jokowi, tidak akan teratasi .

Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal GAKESLAB Indonesia, dr. Randy H. Teguh, MM dalam konferensi pers yang diadakan di Grand Mercure Hotel, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (29 /6).


Menurut dr. Randy H. Teguh, MM, mengemukakan sat ini, ada beberapa klarifikasi yang perlu dilakukan oleh Kementerian Kesehatan terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dikhawatirkan dapat bersifat kontraproduktif terhadap kemandirian alat kesehatan di Indonesia.

Randy memberi contoh tentang persyaratan standar mutu alat kesehatan. Direktorat Jenderal Falmakes menyatakan bahwa standar mutu alat kesehatan adalah Nomor Izin Edar. Namun ternyata kemudian ada standar-standar tambahan yang diminta Rumah Sakit sebagai pengguna alkespada saat pengadaan.

Randy berpandangan Ditjen Falmakes sebaiknya mengkoordinasi dan memvalidasi standar-standar tersebut.

“Standar-standar tersebut hendaknya divalidasi dan dikoordinasikan oleh Ditjen Farmalkes, karena standar mutu alkes memang seharusnya diterbitkan melalui suatu telaah ilmiah yang ketat dengan melibatkan lembaga-lembaga yang kompeten, bukan hanya atas dasar permintaan satu atau dua pihak,” ujarnya.

Randy menambahkan kondisi produsen alkes menjadi semakin sulit karena pada saat masalah tentang standar-standar ini masih bergolak, beberapa lembaga pemerintah, Rumah Sakit dan pejabat pengadaan - baik di pusat maupun di daerah - sudah mengharuskan adanya sertifikasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebagai syarat pembelian alkes dalam negeri.

“Kami  bahkan sempat mengalami kondisi-kondisi ekstrim di mana alkes dalam negeri produksi anggota kami yang telah memiliki Nomor Izin Edar sebagai Alat Kesehatan Dalam Negeri (AKD) tetapi belum memiliki sertifikat TKDN tidak diizinkan berpameran dan dicap sebagai alkes dalam negeri 'tempelan'. Seolah alkes tersebut sebenarnya dibuat di luar negeri tetapi hanya diberi label di dalam negeri”, jelas Randy.

Menurut Randy, GAKESLAB mendukung proses sertifikasi TKDN serta prioritas pembelian produk dengan nilai TKDN minimal tertentu, karena hal ini akan membantu pembentukan eksosistem alkes nasional.

“Tetapi semua proses tersebut harus dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan semua pihak, seperti industri, lembaga surveyor dan staf Kemenperin sendiri,” ungkapnya.

Randy mengingatkan bahwa saat ini hanya ada dua lembaga surveyor yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan survey dalam rangka sertifikasi TKDN, yaitu PT Surveyor Indonesia dan PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo).

Dengan kondisi ini, katanya, dapat dibayangkan betapa panjangnya antrian yang akan terjadi untuk mendapatkan peniliaian bagi keperluan sertifikasi TKDN.

“Padahal alat kesehatan dalam negeri dan impor dapat dibedakan dengan jelas dari kode Nomor Izin Edar – nya, yaitu AKD untuk alat kesehatan dalam negeri, dan AKL untuk alat kesehatan luar negeri, dengan atau tanpa proses sertifikasi TKDN,” tambahnya

Randy mengingatkan agar kebijakan-kebijakan ini jangan sampai disalah-gunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membenarkan pembelian alat kesehatan impor karena produk lokalnya belum tersedia atau dianggap belum berkualitas atau belum memiliki sertifikat TKDN.

Ia setuju tindakan melakukan penempelan pada produk impor yang dilakukan oleh oknum tertentu merupakan tindakan melanggar hukum yang seharusnya dijerat dengan pasal-pasal yang sesuai.

“Namun, jangan sampai adanya praktek licik oknum tertentu itu digeneralisasi terhadap semua atau sebagian besar alat kesehatan dalam negeri,” kata Randy.

“Selain itu jangan pula, praktek semacam ini menyebabkan pemerintah  peraturan-peraturan yang kontraproduktif dan semakin menekan investasi alat kesehatan dalam negeri” ujarnya.

Randy menyatakan, saat ini sudah banyak perusahaan multinasional dan nasional yang berniat untuk menanamkan investasi bagi pengembangan alat kesehatan Indonesia.

Sementara itu Ketua Gakeslab Provinsi DIY Henry Indra Kristanto menjelaskan pihaknya siap memenuhi semua ketentuan yang diminta oleh Kemenkes. Apalagi GAKESLAB Indonesia memiliki rantai pasok penyaluran yang kuat di seluruh Indonesia dengan dukungan distributor alkes profesional di 21 provinsi.  

"Para distributor anggota telah memiliki Izin Distribusi Alat Kesehatan (IDAK), mendapatkan pelatihan Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik (CDAKB) dan terikat pada Kode Etik GAKESLAB Indonesia," kata Henry.

Karena itu, Henry mengimbau agar proses pengadaan memperhatikan pembangunan rantai pasok alkeslab dari hulu ke hilir untuk menjamin Keamanan Kualitas Kinerja dan Ketersediaan (K4) alkeslab yang disalurkan. Bukan hanya berfokus memperhatikan pertumbuhan sarana produksinya.

Henry juga optimistisIndonesia bisa membangun kemandirian alat kesehatan dalam negeri sebagaimana yang diharapkan Presiden, bila Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian sungguh-sungguh memfasilitasi pertumbuhan industri alat kesehatan. (*)