Jogja

Inilah Alasan Malam 1 Suro Dianggap Bulan Sakral Bagi Budaya Jawa

  • YOGYA, Jogjaaja.com - Label ‘sakral’ mau tidak mau memang telah tersemat dalam Malam Satu Suro.Representasi kesakralan tersebut, misalnya, terwakilkan melalui u
Jogja
Ties

Ties

Author

YOGYA, Jogjaaja.com - Label ‘sakral’ mau tidak mau memang telah tersemat dalam Malam Satu Suro.

Representasi kesakralan tersebut, misalnya, terwakilkan melalui upacara-upacara atau ragam tradisi yang digelar dalam penyambutannya.
Lebih jauh, mitos-mitos juga bertebaran, mengiringi Malam Satu Suro itu sendiri.

Seperti larangan-larangan atau tabu melakukan aktivitas tertentu saat malam tersebut tiba.

Bahkan, dalam budaya pop, kesakralan Malam Satu Suro juga mendapat validasi. Seperti melalui film kondang, Malam Satu Suro (1988), yang dibintangi legenda horor Suzzana.

Dalam film tersebut tergambar jelas bahwa pada Malam Satu Suro segala macam jin, demit, dan makhluk halus muncul.

Seakan ingin menunjukkan bahwa kengerian dan keseraman malam tersebut adalah nyata adanya.
Padahal, klaim tersebut justru malah bertolak belakang dari sejarah awal penanggalan ini muncul. 

Seperti diketahui, Malam Satu Suro sebenarnya juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharam, atau tahun barunya kalender hijriah (penanggalan Islam).

Sejarah ditetapkannya 1 Muharram sebagai awal penanggalan dalam kalender hijriah adalah oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Pada masa ini, sebenarnya peringatan tahun baru hijriah lebih dimaknai sebagai malam introspeksi.

Yang mana, umat dianjurkan untuk merenungkan kembali tentang apa yang telah ia lakukan di tahun sebelumnya, dengan harapan dapat lebih baik lagi di tahun yang baru.

Lantas, mengapa dalam budaya Jawa, Malam Satu Suro dianggap sakral?
Sejarawan dan pakar budaya Muhammad Solikhin dalam bukunya, Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010) berpandangan, faktor utama yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton.

Bukan rahasia jika dalam masyarakat Jawa, konstelasi atau tatanan masyarakat bersifat kosmologis, yakni berpusat pada keraton. 

Setiap kebijakan, baik yang menyangkut tata kelola pemerintahan maupun peribadatan, semua berakar dari dawuh (perintah) keraton, dan akhirnya menjadi nilai yang dipegang masyarakatnya.

Menurut Solikhin, kebiasaan keraton yang sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, misalnya Malam Satu Suro, akhirnya menjadi nilai yang terus diyakini masyarakat.

Tradisi-tradisi itu terus diwariskan dan dilanjutkan dari generasi ke generasi, yang secara tidak langsung membentuk kesakralan tersebut.

Misalnya, sebagaimana dicatat Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010), keraton Yogyakarta dan Surakarta pernah mengadakan acara selamatan khusus selama satu minggu berturut-turut dan tidak boleh berhenti.

Sementara Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, berpandangan bahwa politik kebudayaan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram pada kurun 1628-1629 menjadi pemicu mengapa Malam Satu Suro akhirnya disakralkan.

Dia menjelaskan, pada masa itu Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi.

Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa. Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid.

Sultan Agung pun mulai memikirkan cara untuk menyatukan keyakinan-keyakinan tersebut. Ia menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam untuk merangkul semua golongan yang terbelah.

Pada kalender ini, ia mulai menyakralkan momen pergantian tahunnya, yang jatuh setiap tanggal 1 Suro.

Banyak yang mengaitkan penyakralan tersebut sebagai bentuk instrospeksi dan luapan rasa sedih Sultan Agung karena kekalahan dalam dua kali penyerbuannya ke Batavia.

Karena sebagai bentuk instrospeksi, pada malam pergantian tahun ini pun Sultan Agung memerintahkan semua masyarakat untuk prihatin, tidak berbuat sesuka hati, dan tidak boleh berpesta. Masyarakat harus menyepi, bertapa, memohon kepada Tuhan, dan menghormati leluhur.

Sebagai bentuk evaluasi, Sultan Agung juga meminta pada malam tersebut pusaka-pusaka dicuci, dibersihkan; yang mengibaratkan bahwa kehidupan spiritual harus disucikan kembali.

Dari upacara-upacara tersebut lah pada akhirnya membuat orang Jawa meyakini bahwa malam satu Suro menjadi malam yang sangat sakral. 
 

Tak sedikit pula yang akhirnya beranggapan interaksi dengan dunia gaib timbul karena pencucian pusaka yang diiringi doa-doa dan upacara tertentu. (Anz)

Seiringnya berjalannya waktu, budaya ini mengalami modifikasi dan akulturasi. Persinggungan budaya luar membuat tradisi-tradisi Malam Satu Suro pun kian beragam.

Ini pula yang menambah nilai kesakralannya. (Eff)