Jogja

Lima Tradisi Malam Satu Suro, dari Begadang hingga Mencuci Pusaka

  • YOGYA, Jogjaaja.com - Malam Tahun Baru Hijriah atau Tahun Baru Islam 1 Muharam akan jatuh pada Jumat (29/7/2022).Dalam budaya Jawa tradisional, peringatan ini d
Jogja
Ties

Ties

Author

YOGYA, Jogjaaja.com - Malam Tahun Baru Hijriah atau Tahun Baru Islam 1 Muharam akan jatuh pada Jumat (29/7/2022).

Dalam budaya Jawa tradisional, peringatan ini dikenal sebagai ‘Malam Satu Suro’.

Satu Suro sendiri selalu diidentikan dengan malam yang sakral, horor, dan penuh mistis. Banyak mitos bertebaran mengiringi malam tersebut.

 

Sejarawan dan pakar budaya, Muhammad Solikhin dalam bukunya Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010) berpandangan, faktor utama yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton.

Bukan rahasia jika dalam masyarakat Jawa, konstelasi atau tatanan masyarakat bersifat kosmologis, yakni berpusat pada keraton.

Alhasil, tiap kebijakan yang menyangkut tata kelola pemerintahan maupun peribadatan, semua berakar dari dawuh (perintah) keraton, dan akhirnya menjadi nilai yang dipegang masyarakatnya.

Menurut Solikhin, kebiasaan kraton yang sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, misalnya Malam Satu Suro, akhirnya menjadi nilai yang terus diyakini masyarakat.

Lebih jauh, sejarawan orientalis Clifford Geertz melalui bukunya, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat Jawa, terutama petani-petani tradisional mementingkan kebahagiaan dan berharap "tidak ada gangguan apa pun”.

Dalam implementasinya, masyarakat biasanya akan mengadakan upacara-upacara atau ritual dan selamatan, yang dalam konteks Malam Satu Suro dinamai sebagai kegiatan Suran atau Suroan.

Lalu, apa saja tradisi atau kebiasaan yang biasanya dilakukan di Malam Satu Suro? Berikut daftarnya.

Lek-Lekan

Lek-lekan atau yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘begadang’ bisa dibilang jadi tradisi wajib saat Malam Satu Suro.

Dalam tradisi lek-lekan, biasanya akan ada beberapa warga masyarakat yang berkumpul dan begadang semalam suntuk di pos ronda, makan-makan bersama, atau sekadar mengobrol di depan rumah.

Mereka percaya, bahwa dengan menyambut datangnya tahun baru dengan melakukan ritual tersebut, semesta akan memberikan keberkahannya untuk hidup mereka.

Tirakatan

Ritual selanjutnya dalam menyambut malam Satu Suro adalah tirakatan. Ritual Tirakatan diisi dengan berbagai kegiatan menyendiri, seperti wirid.

Bagi seseorang yang masih memegang teguh tradisi Jawa, Ritual Malam Satu Suro yang satu ini wajib dilakukan.

Jamasan Pusaka

Jamasan pusaka identik dengan upacara ngumbah gaman (mencuci senjata) atau ngumbah keris (mencuci keris), yang dilakukan dalam rangka merawat dan melestarikan warisan serta kenang-kenangan para leluhur yang merupa berbagai wujud.

Pusaka merupakan hasil karya dalam bidang seni dan keterampilan yang diyakini mempunyai kesaktian.

Biasanya, jamasan pusaka dilakukan dengan memandikan pusaka dengan cairan tertentu yang sudah disucikan.

Kirab Kebo Bule

Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai tradisi Kirab Kebo Bule setiap Malam Satu Suro.

"Kirab" berarti suatu “iring-iringan” atau “arak-arakan”, sementara "kebo" dalam bahasa Jawa berarti "kerbau".

Kraton Kesunanan Surakarta sendiri diketahui memiliki beberapa ekor kerbau ‘berkulit bule’.

Pertanyaannya, mengapa harus kerbau?

Laman resmi pemerintah kota Surakarta, surakarta.go.id menyebut, karena itu merupakan refleksi dari apa yang dilakukan oleh Paku Buwono II pada 1725, yang tengah mencari lokasi untuk kraton Surakarta yang baru.

Ketika itu, ia melepaskan kebo-kebo bule, dan para abdi dalem krraton mengikuti kerbau tersebut hingga berhenti di lokasi Kraton Kasunanan Surakarta yang sekarang.

Mubeng Benteng

Sementara di Kraton Yogyakarta, tradisi Malam Satu Suro masih dilestarikan, salah satunya tradisi mubeng benteng.

Tradisi mubeng benteng (mengelilingi benteng) alias keraton di Yogyakarta merupakan simbol dari refleksi dan introspeksi diri.

Ketika mengelilingi keraton, para peserta tidak boleh mengeluarkan suara. Selain itu, peserta juga tidak boleh makan dan minum.

Tahun ini, pihak kraton mengonfirmasi bahwa tradisi ini ditiadakan mengingat masih dalam kondisi pandemi Covid-19. (Eff)