Jogja

PSLH UGM: Sistem Pembuangan Limbah Saptic Tank Jadi Faktor Utama Pencemaran Air Tanah di Perkotaan

  • YOGYA, Jogjaaja.com - Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM Pramono Hadi menyebut sistem saptic tank untuk pembuangan limbah domestik menjadi faktor ut
Jogja
Ties

Ties

Author

YOGYA, Jogjaaja.com - Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM Pramono Hadi menyebut sistem saptic tank untuk pembuangan limbah domestik menjadi faktor utama pencemaran air tanah di kawasan padat penduduk atau perkotaan. Terutama, pencemaran ini terjadi pada rumah-rumah berusia tua.

"Sejak lama sistem pembuangan limbah itu menggunakan saptic tank. Cuma saptic tank terutama yang sudah lama itu akhirnya kan rusak karena umurnya sudah tua dan rembesan limbah itu mengalir secara langsung ke sumur-sumur warga melalui retakan-retakan. Itu yang menyebabkan air tanah khususnya di kawasan perkotaan tercemar bakteri Ecoli," katanya, Kamis (8/6/2023).

Dia menyebut pencemaran terjadi bukan dari resapan air tanah, melainkan langsung menetes ke sumur-sumur milik warga. Menurutnya, kondisi ini dipengaruhi karena jarak saptic tank dengan sumur tidak berada pada batas aman.

"Sebenarnya bakteri Ecoli itu tidak bisa meresap jauh ke dalam tanah, dia mencemarinya lewat bocoran yang langsung menuju ke sumur. Jadi konteksnya adalah pencemaran secara langsung, terutama di daerah yang sudah tua," jelasnya.

Dia menyebut seharusnya jarak aman antara saptic tank dengan sumur untuk mengindari pencemaran bakteri Ecoli adalah sejauh 10 meter.

Untuk mengatasi permasalah lingkungan ini, Pramono menyebut bahwa pemerintah sudah berupaya melakukan pencegahan dengan membuat Instalasi Pembuatan Air Limbah (IPAL), namun sayangnya hal tersebut belum cukup menampung seluruh limbah domestik dari perkotaan.

"Sekitar tahun 70 atau 80an itu pemerintah melalui Kementerian PUPR buat saluran IPAL di daerah Sewon, Bantul. Tetapi, kapasitasnya hanya 25 ribu, sedangkan jumlah rumah di Kota Jogja itu lebih dari 300 ribu dan itu jauh dari cukup," katanya.

Selain itu, sistem IPAL yang sudah ada itu justru tidak dimanfaatkan secara maksimal. Sehingga hal ini masih menimbulkan masalah bagi kualitas air tanah di daerah perkotaan.

"Jogja itu kan disebut sebagai kota istimewa. Pertanyaannya adalah istimewa dimana? Kalau hal-hal semacam ini tidak diperhatikan oleh pemerintah," ungkapnya.

Dia mengatakan, pemerintah seharusnya memiliki wewenang yang kuat untuk membangun sistem pengendalian lingkungan yang baik. Sehingga, menurutnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak bisa mengatasi persoalan tersebut.

 

"UGM itu punya percontohan, sudah punya sistem pengelolaan air yang airnya langsung bisa diminum dari kran. Kami sudah komunikasi dengan pemerintah, tetapi responnya tidak cepat, pemerintah beralasan karena kekurangan dana. Seharusnya kan gampang cari investor," paparnya. (Anz)