Sleman

Yashinta Ulas Fenomena Disrupsi dan Megashift di Fisipol UGM

  • SLEMAN, Jogjaaja.com - Pandemi Covid-19 ternyata menjadi salah satu penyebab fenomena disrupsi dan megashift sebagai konsekuensi dari berbagai tantangan global,
Sleman
Ties

Ties

Author

SLEMAN, Jogjaaja.com - Pandemi Covid-19 ternyata menjadi salah satu penyebab fenomena disrupsi dan megashift sebagai konsekuensi dari berbagai tantangan global, seperti perubahan iklim dan perkembangan teknologi. Disrupsi dalam konteks ini mengacu pada perubahan besar yang mempengaruhi banyak aspek di masyarakat. Pada akhirnya, rangkaian disrupsi ini memberi kontribusi pada megashift, yaitu perubahan mendasar dalam kehidupan manusia.

Demikian diungkapkan tokoh muda R. A. Yashinta Sekarwangi Mega dalam acara bedah buku Ilmu Sosial Politik Masa Depan: Menjawab Megashift? yang digelar di Fisipol UGM pada Senin (13/11/2023). Menurutnya analisis megashift bisa dibagi menjadi dua sisi, yakni disrupsi dan tata politik. Dirinya telah mengidentifikasi beberapa disrupsi besar satu dekade bahkan mungkin beberapa dekade terakhir, yaitu perkembangan teknologi dan perubahan iklim.

"Pada sisi yang lain, tata politik, kita bisa melihat perubahan dan pergeseran pola di beberapa aspek, seperti pola pembangunan dan kebijakan, kontestasi politik, sikap dan interaksi institusi politik (formal dan informal), serta partisipasi politik masyarakat," jelasnya.

Pada aspek teknologi dan tata politik, kemajuan perkembangan teknologi informasi masa kini tentunya mengakibatkan tantangan pada sistem politik. Pertama, di tingkat pemangku kebijakan, tantangan utama respons pembangunan adalah daya tanggap pemerintah terhadap dua hal, inovasi di sektor privat dan kebutuhan anak muda yang notabene adalah digital native.

"Representasi dan partisipasi anak muda dalam tata kelola politik Indonesia, salah satunya institusi pemerintahan, pada titik ini menjadi krusial," ujarnya.

Kedua, kesenjangan penetrasi digital. Perlu dicatat bahwa masih terdapat kesenjangan antara penetrasi internet di daerah perkotaan dan pedesaan menurut data global (Global Connectivity Report, 2022). Berbeda dengan wilayah regional Eropa yang memiliki tingkat ketimpangan sedikit, kesenjangan di Asia Pasifik masih amat lebar, yakni perkotaan (75%) dan pedesaan (39%).

"Melihat konteks ini, peran anak muda, serta upaya-upaya memfasilitasinya, semakin penting dalam membangun konektivitas antar daerah dalam hal pembangunan dan partisipasi lokal," ungkapnya.

Sementara perubahan iklim menempatkan pemangku kebijakan sebagai salah satu institusi dengan kapasitas mitigasi terbesar. Mitigasi berhubungan dengan beban keuangan yang diperlukan untuk membangun infrastruktur dan sistem yang mengantisipasi bencana. Sebagai contoh, dengan menerapkan sistem pajak karbon, pemerintah dapat menghimpun sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mengurangi dampak bencana iklim.

"Menjadi masyarakat yang membangun Indonesia yang berkelanjutan juga tidak bisa lagi menempatkan anak muda sebagai pihak yang pasif. Kita perlu beranjak dari anak muda yang memilih, menjadi anak muda yang dipilih, anak muda yang mendengar, menjadi anak muda yang bersuara, anak muda sebagai objek pembangunan, menjadi anak muda sebagai subjek aktif dari pembangunan," pungkasnya. (Anz)